Senin, 06 Januari 2014

Tugas 3



Contoh Kasus Hak Pekerja
Pemerintah Lamban Tuntaskan Kasus Pekerja Panci
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyesalkan lambannya penyelesaian kasus pekerja panci di Tangerang. Menurut Kadiv Advokasi dan HAM KontraS, Yati Andriyani, sudah tiga bulan kasus yang menimpa puluhan pekerja panci terkuak, namun sampai saat ini belum satu pun berbuah hasil seperti harapan. Pasalnya, para pekerja yang semasa bekerja kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi dari pengusahanya itu sampai saat ini belum dipenuhi hak-haknya. Mulai dari upah sampai hak-hak lainnya sebagai pekerja. Yati mencatat sedikitnya ada tiga instansi pemerintaan yang memproses kasus tersebut. Yakni Polres Tiga Raksa Tangerang, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang dan Kemenakertrans. Namun, tindaklanjutnya menurut Yati berjalan sangat lambat. Misalnya, proses penyidikan di tingkat Polres Tangerang sudah memakan waktu duabulan yaitu sejak 2 Mei 2013 dan menyerahkan berkas penyidikan ke Kejaksaan Negeri Tangerang 25 Juli 2013. Selain lambannya proses itu, Yati menyayangkan tidak ada satu pun anggota kepolisian dan TNI yang terlibat dalam kasus itu masuk dalam berkas penyidikan. Hasil penyelidikan itu hanya mencantumkan si pengusaha yaitu Yuki dan tiga mandor. Padahal, dalam pemeriksaan saksi-saksi yang didampingi KontraS di Kepolisian, ada keterangan yang menyebut keterlibatan aparat kepolisian dan TNI. Keterlibatan itu juga sudah dijelaskan oleh para korban. Dari penuturan dalam proses pemeriksaan itu Yati menyimpulkan keterlibatan sejumlah anggota kepolisian dan TNI derajatnya berbeda-beda. Ada yang melakukan intimidasi dan ancaman dengan cara meletupkan tembakan ke tanah dimana para pekerja panci sedang bekerja. Lalu menangkap, memukul dan menyekap pekerja di kamar mandi. Selain itu, ada laporan dari masyarakat dan pekerja panci atas tindakan yang dilakukan anggota polisi itu kepada Propam Mabes Polri, namun sampai sekarang tidak ditindaklanjuti. Berkaitan dengan laporan kepada Kemenakertrans, Yati mengatakan sudah ditindaklanjuti dengan penyidikan yang dilakukan PPNS sejak 6 Mei 2013. Hasil penyidikan itu menetapkan bahwa para pekerja panci yang jumlahnya 34 orang ketika dilakukan penggerebekan di Tangerang, wajib dibayarkan hak-haknya. Tapi, sampai sekarang surat penetapan itu belum terealisasi. “Sampai saat ini para pekerja panci belum mendapatkan hak-haknya,” katanya dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Kamis (1/8).
Terpisah, Koordinator KontraS, Haris Azhar, mengaku sudah berkomunikasi dengan Menakertrans, Muhaimin Iskandar, untuk mempertanyakan sejauh mana penuntasan kasus pekerja panci tersebut. Menurutnya, Muhaimin mengatakan kasus pekerja kuali menjadi salah satuhal yang diseriusi untuk dituntaskan. Muhaimin pun berjanji untuk mengecek sejauh mana proses penyelesaian kasus tersebut. “Dia (Menakertrans,-red) akan segera cek,” tutur Haris kepada hukumonline lewat pesan singkat, Kamis (1/8). Atas dasar itu, KontraS mendesak agar kejaksaan negeri Tangerang segera memprioritaskan penanganan perkara pekerja panci. Tak ketinggalan Menakertrans dituntut segera implementasikan pemenuhan hak-hak para korban sebagai pekerja. Serta mendesak Propam Polri menindaklanjuti pelaporan mengenai dugaan keterlibatan aparat kepolisian dalam tindak pidana yang dilakukan Yuki cs. Sementara, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, melihat kasus pekerja panci di Tangerang seolah hilang ditiup angin. Padahal, saat awal kasus itu terungkap, banyak janji yang diumbar pihak berwenang untuk menyelesaikannya. Mengingat kasus yang terjadi bukan sekedar masalah ketenagakerjaan, tapi menyangkut kerja paksa, Timboel mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum segera menuntaskan kasus itu. Baik menyangkut perdata dan pidana. Sekalipun pelaku dijatuhi hukuman berat kepada pelaku Timboel merasa hal itu tidak akan signifikan untuk mencegah berulangnya kasus serupa. Oleh karenanya, penegakan hukum itu perlu dibarengi dengan perbaikan sistem pengawas ketenagakerjaan. Sayangnya, sampai sekarang pemerintah dinilai belum membentuk sistem pengawasan ketenagakerjaan yang mampu mencegah terjadinya kerja paksa. “Pemerintah tidak punya kemauan politik untuk membuat terobosan sistem pengawasan yang mumpuni. Buktinya, tidak lama berselang setelah kasus pekerja panci, kejadian serupa terjadi di Riau dimana anak-anak di bawah umur dipekerjakan secara tidak manusiawi,” urainya kepada hukumonline lewat pesan singkat, Jumat (2/8). Timboel menilai mekanisme pengawasan yang selama ini diselengarakan pemerintah tergolong pasif dan reaktif. Ironisnya, selama lima tahun Kemenakertrans dipimpin Muhaimin Iskandar, Timboel tidak melihat banyak perubahan di bidang pengawasan. Baik terobosan atau membenahi sistem pengawasan yang ada. Soal masalah pengawasan itu Timboel melihat Menakertrans kerap kali mengungkapkan keluhan klasik yaitu jumlah pengawas sedikit dan anggaran minim. Hingga sekarang, Kemenakertrans belum memberikan pernyataan resmi sejauh mana proses penyelesaian kasus pekerja panci tersebut. Sampai berita ini dibuat, Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Kemenakertrans, Muji Handaya, belum dapat dimintai tanggapan. Upaya menghubungi lewat telpon dan pesan singkat pun tak berbuah hasil.
   tuntaskan-kasus-pekerja-panci

Contoh Kasus Iklan Tidak Etis
Periklanan Pengobatan Alternatif  Tidak Etis
Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional Alternatif dan Komplementer Kementerian Kesehatan Abidin Syah Siregar mengatakan, iklan pelayanan kesehatan alternatif yang sering ditayangkan di berbagai stasiun televisi akhir-akhir ini tidak etis. Menurut dia, pengobatan tradisional berada pada wilayah peningkatan kualitas kesehatan dan pencegahan penyakit, bukan menjamin kesembuhan. "Dokter saja tidak berani menjamin," katanya kepada wartawan di Jakarta, 15 Agustus 2012. Abidin mengatakan, iklan yang menjamin kesembuhan berbahaya bagi masyarakat. Pasalnya, iklan macam itu akan memberi harapan berlebihan kepada masyarakat. Menurut Abidin, fenomena kegandrungan pada pengobatan tradisional, khususnya pengobatan tradisional dunia, memang sedang melanda dunia. "Banyak iklan yang bahkan menyudutkan pengobatan konvensional, yang mengatakan bahwa tubuh ini seharusnya tidak dimasuki zat kimia," ujarnya. Menurut dia, fenomena ini adalah cermin tren back to nature. Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi Agus Purwadianto mengatakan penayangan iklan pengobatan alternatif yang menjamin kesembuhan juga melanggar Peraturan Menteri Kesehatan No. 1787 tahun 2010 Pasal 5 huruf f yang menyatakan bahwa melarang publikasi alat atau metode baru yang masih belum diterima umum di kalangan dokter karena masih diragukan. Pihaknya mengatakan, perlu sinergi antara berbagai pihak untuk mencegah informasi yang berbahaya ini tersebar di masyarakat. Pada 9 dan 10 Agustus lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melayangkan surat teguran kepada lima stasiun televisi, yaitu Metro TV, Trans TV, Global TV, Trans 7, dan TV One. KPI menegur mereka lantaran menampilkan iklan pelayanan kesehatan alternatif yang tidak etis, di antaranya iklan klinik Tong Fang dan Can Jiang. Menurut Komisioner KPI Nina Mutmainah Armando, iklan tersebut tidak etis karena menampilkan promosi dan testimoni yang berisi jaminan kesembuhan dari pasien.  Ketua Ikatan Naturopatis Indonesia (IKNI) Sujanto Mardjuki membenarkan bahwa iklan layanan kesehatan yang menjamin kesembuhan tidak etis. Menurut pemimpin organisasi yang menaungi berbagai insitusi pelayanan kesehatan tradisional ini, anggotanya tidak pernah melakukan publikasi macam itu. "Anggota kami sudah taat pada peraturan menteri kesehatan, seharusnnya klinik-klinik yang melanggar ketentuan itu tidak boleh dibiarkan," kata Martani, salah satu anggota IKNI. 
Sumber : ww.tempo.co/read/news/2012/08/15/173423806/Iklan-Pengobatan-Alternatif-Dinilai
   Tak-Etis

Contoh Kasus etika pasar bebas
Kasus Indomie di Taiwan
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar. Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya. Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran.  Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.

Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di  Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie. A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker. Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.

Contoh Kasus whistle blowing
Tertangkapnya AS Bukti Efektifnya Whistle Blower di Pajak
Publik kembali dikejutkan dengan penangkapan seorang pegawai pajak. Pegawai berinisial AS tersebut diduga menerima suap dari salah seorang Wajib Pajak. Penangkapan AS dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komplek Legenda Wisata, Cibubur pada Jumat siang tanggal 13 Juli 2012. Yang mengejutkan publik ternyata AS merupakan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak, sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KaKPP) Pratama Bogor. Penangkapan ini merupakan hasil kerjasama antara Direktorat Kepatuhan Internal DJP dengan KPK. “Ini indikasi kuat berjalannya sistem whistle blower, bahwa masyarakat bisa melaporkan jika ada indikasi penyimpangan dan tim KPK akan segera menindaklanjuti. Saya sangat apresiasi dengan tim KPK,” ujar Dirjen Pajak Fuad Rahmany yang dikutip beberapa media dalam jumpa pers Sabtu lalu. Jika menilik pernyataan Fuad Rahmany ini maka modus operasi penangkapan pejabat pajak AS ini tidak berbeda dengan penangkapan TH -salah seorang pegawai Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sidoarjo Selatan- bulan silam. Beruntunnya kasus suap terkuak yang menimpa pegawai Direktorat Jenderal Pajak kembali mendatangkan tudingan ke tubuh instansi ini. Dikatakan reformasi birokrasi itu telah gagal. Benarkah? Sejak tahun 2002 Direktorat Jenderal Pajak telah melaksanakan reformasi birokrasi. Untuk menuju good governance dilakukan perbaikan secara mendasar terhadap sistem birokrasi. Memangkas jalur birokrasi agar menjadi lebih sistematis dan efisien. Perbaikan struktur organisasi dan administrasi tentu tak bisa berjalan tanpa sinergi dari SDM yang handal dan berintegritas. Untuk pembenahan SDM ini, Direkrorat Jenderal Pajak tak henti-hentinya mengeluarkan kebijakan yang mendukung. Dari pemberian reward dan punishment yang seimbang, hingga pemberlakuan whistleblowing system yang mulanya menuai pro kontra di kalangan internal pegawai sendiri. Polemik yang terlontar kebijakan tersebut hanya akan menjaring pelanggar kelas “teri”.
Whistleblowing system mulai diberlakukan tahun 2012 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-11/PJ/2011. Sistem yang revolusioner ini dibuat untuk membangun budaya korektif dan peduli pada masyarakat luar dan pegawai DJP, agar bersama-sama mengawal proses reformasi birokrasi. Masyarakat diberi kesempatan untuk melaporkan pelanggaran yang diketahuinya melalui saluran yang telah disediakan. Bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan seluruh pegawai DJP dapat mengadukan peyimpangan yang dilakukan atasannya, bawahannya, maupun sesama koleganya. Untuk memudahkan pegawainya, pimpinan Direktorat Jenderal Pajak telah menyediakan instrumen yang mendukung. Antara lain dengan adanya aplikasi di intranet Kepegawaian yang memungkinkan setiap pegawai untuk mengadukan peyimpangan yang dilakukan pegawai lainnya. Setiap pegawai dapat melakukan login dengan jaminan identitasnya akan dirahasiakan. Pengaduan itu kemudian akan ditindaklanjuti Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (Kitsda), sebuah Direktorat yang berfungsi semacam provost. Kerjasama antara KPK dan Kitsda inilah yang akhirnya telah menangkap basah AS dan TH. Informasi ini yang harus terus disebarluaskan ke masyarakat. Bahwa tertangkapnya AS ini justeru karena pengawasan berjalan efektif di internal Direktorat Jenderal Pajak. Jangan sampai tertangkapnya AS jadi demotivasi bagi pegawai pajak lain, karena stigma yang keliru. Direktorat Jenderal Pajak baru satu-satunya instansi pemerintahan yang berani mengeluarkan kebijakan whistleblowing system ini dan menggandeng KPK dalam pelaksanaannya. Mungkin bagi sebagian masyarakat kebijakan ini terdengar agak kejam, seperti menggunting dalam lipatan. Karena setiap pegawai akan menjadi mata-mata bagi pegawai lainnya. Tapi menurut penulis pengawasan melekat dari lingkungan terdekat seperti ini cukup efesien. Karena mereka yang dalam kesehariannya bersosialisasi dengan seorang pegawai biasanya akan lebih cepat mencium ketidakberesan yang dilakukan pegawai tersebut. Masyakat harus lebih adil dan fair dalam menilai kasus tertangkapnya AS ini. Semua ini bisa terjadi karena efektifnya sistem pengawasan internal tadi. Jadi reformasi birokrasi belum gagal, justeru akan terus berlanjut. Seharusnya apresiasi diberikan ke pimpinan Direktorat Jenderal Pajak, karena kebijakan whistleblowing system ini tidak hanya menjaring “Ikan Teri” tapi juga “Kakap”.

NAMA            : AVEGA SELVIYANA
NPM               : 11210230
KELAS           : 4EA18