NAMA : AVEGA SELVIYANA
NPM : 11210230
KELAS : 4EA18
PERTANIAN ORGANIK
Pertanian organik adalah teknik
budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan
bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan
produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen
dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah
melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian
harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi
tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling
attributes). Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk
pertanian organik dunia meningkat pesat. Organik, berasal dari akar kata organ.
Seperti yang kita ketahui, organ adalah bagian dari tubuh yang memiliki fungsi
khas untuk mendukung kehidupan. Yang saya garis bawahi tadi adalah kata kunci
dari pertanian organik. Sayangnya, pertanian organik (dan produknya) seringkali
dipahami dengan sempit. Asal pakai pupuk kandang, tanpa pestisida sintetis,
atau sudah sesuai dengan standar deptan…maka produk langsung bisa diklaim
sebagai organik. Padahal tidaklah demikian.
Pertanian organik setidaknya tersusun atas tiga
elemen utama, yaitu:
1.
Alam — di mana ada pengakuan akan kekuatan yang lebih
besar dari kekuatan manusia. Misalnya cuaca, kondisi tanah, air, hewan-hewan,
dsb. Kekuatan ini bukan untuk dilawan, tetapi dijadikan sebagai mitra.
2.
Budidaya — di mana ada etika (budi), pikiran dan daya
upaya.
3.
Manusia — petani, masyarakat disekitar, penjual, dan
konsumen
4.
Elemen-elemen tadi tidak dapat dipisah-pisahkan.
Semuanya harus bergerak secara harmonis, dan harus hidup.
Karena berusaha selaras dengan
alam, maka pertanian organik tidak bisa dilakukan secara multiculture dalam
jumlah besar. Dalam pertanian organik selalu ada unsur:
1. Beraneka ragam. Untuk mengendalikan populasi
hama, dan untuk menjamin agar tanah tidak mengalami defisiensi nutrisi
tertentu. Di sini dikenal tanaman penambat nitrogen, tanaman pengusir hama,
tanaman pemikat hama (agar hama tidak menyerang tanaman induk), tanaman penggembur
tanah (umbi-umbian), tanaman penaung, dsb.
2. Bergilir. Selain untuk menyesuaikan diri
dengan musim agar tidak mudah kena penyakit, tujuannya juga untuk mengendalikan
populasi hama dan menjaga kesuburan tanaman.
3. Lokal. Tanaman lokal telah beradaptasi dengan
alam lokal selama berabad-abad sehingga lebih tahan terhadap hama dan penyakit.
Tentang ini, perlu diingat bahwa Kelapa Sawit
berasal dari Afrika Barat. Tanaman palma khas Indonesia itu sagu, kelapa, aren,
siwalan dan sejenisnya.
Karena salah satu unsurnya adalah manusia, maka
pertanian organik tidak dapat dipisahkan dari FAIR TRADE alias perdagangan yang
adil. Masyarakat setempat dilibatkan dalam pertanian ini, baik sebagai petani,
pengolah maupun pemasar. Petani harus mendapatkan penghasilan yang layak untuk
kehidupannya. Dan konsumen harus mendapat produk yang sehat sesuai dengan harga
yang dibayarnya.
Peluang Pertanian Organik di
Indonesia
Luas
lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari
75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar
25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000).
Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar
oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan
menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang belum tercemar adalah
lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan demikian kurang subur.
Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan
bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa
konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun. Volume produk pertanian organik
mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang diperdagangkan di pasar
internasional. Sebagian besar disuplay oleh negara-negara maju seperti
Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih
banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan
Korea.
Potensi
pasar produk pertanian organik di dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas
pada masyarakat menengah ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain:
1) belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian
organik, 2) perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih
lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, 3) belum ada kepastian
pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut.
Areal
tanam pertanian organik, Australia dan Oceania mempunyai lahan terluas yaitu
sekitar 7,7 juta ha. Eropa, Amerika Latin dan Amerika Utara masing-masing
sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan 1,3 juta hektar. Areal tanam komoditas pertanian
organik di Asia dan Afrika masih relatif rendah yaitu sekitar 0,09 juta dan
0,06 juta hektar (Tabel 1). Sayuran, kopi dan teh mendominasi pasar produk
pertanian organik internasional di samping produk peternakan.
Tabel
1. Areal tanam pertanian organik masing-masing wilayah di dunia, 2002
No.
Wilayah Areal Tanam (juta ha)
- Australia dan Oceania 7,70
- Eropa 4,20
- Amerika Latin 3,70
- Amerika Utar 1,30
- Asia 0,09
- Afrika 0,06
Indonesia
memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar internasional
walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai keunggulan komparatif antara
lain : 1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk mengembangkan
sistem pertanian organik, 2) teknologi untuk mendukung pertanian organik sudah
cukup tersedia seperti pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah, pestisida
hayati dan lain-lain. Pengembangan selanjutnya pertanian organik di Indonesia
harus ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar global. Oleh sebab itu
komoditas-komoditas eksotik seperti sayuran dan perkebunan seperti kopi dan teh
yang memiliki potensi ekspor cukup cerah perlu segera dikembangkan. Produk kopi
misalnya, Indonesia merupakan pengekspor terbesar kedua setelah Brasil, tetapi
di pasar internasional kopi Indonesia tidak memiliki merek dagang. Pengembangan
pertanian organik di Indonesia belum memerlukan struktur kelembagaan baru,
karena sistem ini hampir sama halnya dengan pertanian intensif seperti saat
ini. Kelembagaan petani seperti kelompok tani, koperasi, asosiasi atau
korporasi masih sangat relevan. Namun yang paling penting lembaga tani tersebut
harus dapat memperkuat posisi tawar petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar