Contoh
Kasus Hak Pekerja
Pemerintah
Lamban Tuntaskan Kasus Pekerja Panci
Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyesalkan lambannya penyelesaian kasus
pekerja panci di Tangerang. Menurut Kadiv Advokasi dan HAM KontraS, Yati
Andriyani, sudah tiga bulan kasus yang menimpa puluhan pekerja panci terkuak, namun
sampai saat ini belum satu pun berbuah hasil seperti harapan. Pasalnya, para
pekerja yang semasa bekerja kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi dari
pengusahanya itu sampai saat ini belum dipenuhi hak-haknya. Mulai dari upah
sampai hak-hak lainnya sebagai pekerja. Yati mencatat sedikitnya ada tiga
instansi pemerintaan yang memproses kasus tersebut. Yakni Polres Tiga Raksa
Tangerang, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang dan Kemenakertrans. Namun,
tindaklanjutnya menurut Yati berjalan sangat lambat. Misalnya, proses
penyidikan di tingkat Polres Tangerang sudah memakan waktu duabulan yaitu sejak
2 Mei 2013 dan menyerahkan berkas penyidikan ke Kejaksaan Negeri Tangerang 25
Juli 2013. Selain lambannya proses itu, Yati menyayangkan tidak ada satu pun
anggota kepolisian dan TNI yang terlibat dalam kasus itu masuk dalam berkas
penyidikan. Hasil penyelidikan itu hanya mencantumkan si pengusaha yaitu Yuki
dan tiga mandor. Padahal, dalam pemeriksaan saksi-saksi yang didampingi KontraS
di Kepolisian, ada keterangan yang menyebut keterlibatan aparat kepolisian dan
TNI. Keterlibatan itu juga sudah dijelaskan oleh para korban. Dari penuturan
dalam proses pemeriksaan itu Yati menyimpulkan keterlibatan sejumlah anggota
kepolisian dan TNI derajatnya berbeda-beda. Ada yang melakukan intimidasi dan
ancaman dengan cara meletupkan tembakan ke tanah dimana para pekerja panci
sedang bekerja. Lalu menangkap, memukul dan menyekap pekerja di kamar mandi.
Selain itu, ada laporan dari masyarakat dan pekerja panci atas tindakan yang
dilakukan anggota polisi itu kepada Propam Mabes Polri, namun sampai sekarang
tidak ditindaklanjuti. Berkaitan dengan laporan kepada Kemenakertrans, Yati
mengatakan sudah ditindaklanjuti dengan penyidikan yang dilakukan PPNS sejak 6
Mei 2013. Hasil penyidikan itu menetapkan bahwa para pekerja panci yang
jumlahnya 34 orang ketika dilakukan penggerebekan di Tangerang, wajib
dibayarkan hak-haknya. Tapi, sampai sekarang surat penetapan itu belum
terealisasi. “Sampai saat ini para pekerja panci belum mendapatkan hak-haknya,”
katanya dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Kamis (1/8).
Terpisah, Koordinator KontraS,
Haris Azhar, mengaku sudah berkomunikasi dengan Menakertrans, Muhaimin
Iskandar, untuk mempertanyakan sejauh mana penuntasan kasus pekerja panci
tersebut. Menurutnya, Muhaimin mengatakan kasus pekerja kuali menjadi salah
satuhal yang diseriusi untuk dituntaskan. Muhaimin pun berjanji untuk mengecek
sejauh mana proses penyelesaian kasus tersebut. “Dia (Menakertrans,-red) akan
segera cek,” tutur Haris kepada hukumonline lewat pesan singkat, Kamis
(1/8). Atas dasar itu, KontraS mendesak agar kejaksaan negeri Tangerang segera
memprioritaskan penanganan perkara pekerja panci. Tak ketinggalan Menakertrans
dituntut segera implementasikan pemenuhan hak-hak para korban sebagai pekerja.
Serta mendesak Propam Polri menindaklanjuti pelaporan mengenai dugaan
keterlibatan aparat kepolisian dalam tindak pidana yang dilakukan Yuki cs. Sementara,
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, melihat
kasus pekerja panci di Tangerang seolah hilang ditiup angin. Padahal, saat awal
kasus itu terungkap, banyak janji yang diumbar pihak berwenang untuk
menyelesaikannya. Mengingat kasus yang terjadi bukan sekedar masalah
ketenagakerjaan, tapi menyangkut kerja paksa, Timboel mendesak pemerintah dan
aparat penegak hukum segera menuntaskan kasus itu. Baik menyangkut perdata dan
pidana. Sekalipun pelaku dijatuhi hukuman berat kepada pelaku Timboel merasa
hal itu tidak akan signifikan untuk mencegah berulangnya kasus serupa. Oleh
karenanya, penegakan hukum itu perlu dibarengi dengan perbaikan sistem pengawas
ketenagakerjaan. Sayangnya, sampai sekarang pemerintah dinilai belum membentuk
sistem pengawasan ketenagakerjaan yang mampu mencegah terjadinya kerja paksa. “Pemerintah
tidak punya kemauan politik untuk membuat terobosan sistem pengawasan yang
mumpuni. Buktinya, tidak lama berselang setelah kasus pekerja panci, kejadian
serupa terjadi di Riau dimana anak-anak di bawah umur dipekerjakan secara tidak
manusiawi,” urainya kepada hukumonline lewat pesan singkat, Jumat (2/8).
Timboel menilai mekanisme pengawasan yang selama ini diselengarakan pemerintah
tergolong pasif dan reaktif. Ironisnya, selama lima tahun Kemenakertrans
dipimpin Muhaimin Iskandar, Timboel tidak melihat banyak perubahan di bidang
pengawasan. Baik terobosan atau membenahi sistem pengawasan yang ada. Soal
masalah pengawasan itu Timboel melihat Menakertrans kerap kali mengungkapkan keluhan
klasik yaitu jumlah pengawas sedikit dan anggaran minim. Hingga sekarang,
Kemenakertrans belum memberikan pernyataan resmi sejauh mana proses
penyelesaian kasus pekerja panci tersebut. Sampai berita ini dibuat, Dirjen
Pembinaan dan Pengawasan Kemenakertrans, Muji Handaya, belum dapat dimintai
tanggapan. Upaya menghubungi lewat telpon dan pesan singkat pun tak berbuah
hasil.
tuntaskan-kasus-pekerja-panci
Contoh
Kasus Iklan Tidak Etis
Periklanan
Pengobatan Alternatif Tidak Etis
Direktur Bina Pelayanan
Kesehatan Tradisional Alternatif dan Komplementer Kementerian Kesehatan Abidin
Syah Siregar mengatakan, iklan pelayanan kesehatan alternatif yang sering
ditayangkan di berbagai stasiun televisi akhir-akhir ini tidak etis. Menurut
dia, pengobatan tradisional berada pada wilayah peningkatan kualitas kesehatan
dan pencegahan penyakit, bukan menjamin kesembuhan. "Dokter saja tidak
berani menjamin," katanya kepada wartawan di Jakarta, 15 Agustus 2012.
Abidin mengatakan, iklan yang menjamin kesembuhan berbahaya bagi masyarakat.
Pasalnya, iklan macam itu akan memberi harapan berlebihan kepada masyarakat. Menurut
Abidin, fenomena kegandrungan pada pengobatan tradisional, khususnya pengobatan
tradisional dunia, memang sedang melanda dunia. "Banyak iklan yang bahkan
menyudutkan pengobatan konvensional, yang mengatakan bahwa tubuh ini seharusnya
tidak dimasuki zat kimia," ujarnya. Menurut dia, fenomena ini adalah
cermin tren back to nature. Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Teknologi
Kesehatan dan Globalisasi Agus Purwadianto mengatakan penayangan iklan
pengobatan alternatif yang menjamin kesembuhan juga melanggar Peraturan Menteri
Kesehatan No. 1787 tahun 2010 Pasal 5 huruf f yang menyatakan bahwa melarang
publikasi alat atau metode baru yang masih belum diterima umum di kalangan
dokter karena masih diragukan. Pihaknya mengatakan, perlu sinergi antara
berbagai pihak untuk mencegah informasi yang berbahaya ini tersebar di
masyarakat. Pada 9 dan 10 Agustus lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
melayangkan surat teguran kepada lima stasiun televisi, yaitu Metro TV, Trans
TV, Global TV, Trans 7, dan TV One. KPI menegur mereka lantaran menampilkan
iklan pelayanan kesehatan alternatif yang tidak etis, di antaranya iklan klinik
Tong Fang dan Can Jiang. Menurut Komisioner KPI Nina Mutmainah Armando, iklan
tersebut tidak etis karena menampilkan promosi dan testimoni yang berisi jaminan
kesembuhan dari pasien. Ketua Ikatan Naturopatis Indonesia (IKNI) Sujanto
Mardjuki membenarkan bahwa iklan layanan kesehatan yang menjamin kesembuhan
tidak etis. Menurut pemimpin organisasi yang menaungi berbagai insitusi
pelayanan kesehatan tradisional ini, anggotanya tidak pernah melakukan
publikasi macam itu. "Anggota kami sudah taat pada peraturan menteri
kesehatan, seharusnnya klinik-klinik yang melanggar ketentuan itu tidak boleh
dibiarkan," kata Martani, salah satu anggota IKNI.
Sumber : ww.tempo.co/read/news/2012/08/15/173423806/Iklan-Pengobatan-Alternatif-Dinilai
Tak-Etis
Kasus Indomie di Taiwan
Akhir-akhir
ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis
terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi
kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan
diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing
untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar. Dalam persaingan antar perusahaan
terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi
pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi
persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang
ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah
dari produk-produk lainnya. Kasus Indomie yang mendapat larangan
untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya
bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam
Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat).
Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan
pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis
produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket
terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini
mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX
DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa
(12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini
bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan
adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie. A Dessy
Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung
di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid
(asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk
dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam
pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal
0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya
bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan
bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam
kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada
dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi,
lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman
untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg
nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan
berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko
terkena penyakit kanker. Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota
Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada
persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk
pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec.
Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi
di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka
timbulah kasus Indomie ini.
Contoh
Kasus whistle blowing
Tertangkapnya
AS Bukti Efektifnya Whistle Blower di Pajak
Publik kembali dikejutkan dengan
penangkapan seorang pegawai pajak. Pegawai berinisial AS tersebut diduga
menerima suap dari salah seorang Wajib Pajak. Penangkapan AS dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komplek Legenda Wisata, Cibubur pada Jumat siang
tanggal 13 Juli 2012. Yang mengejutkan publik ternyata AS merupakan pejabat di
Direktorat Jenderal Pajak, sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KaKPP)
Pratama Bogor. Penangkapan ini merupakan hasil kerjasama antara Direktorat
Kepatuhan Internal DJP dengan KPK. “Ini indikasi kuat berjalannya sistem whistle
blower, bahwa masyarakat bisa melaporkan jika ada indikasi penyimpangan dan tim
KPK akan segera menindaklanjuti. Saya sangat apresiasi dengan tim KPK,” ujar
Dirjen Pajak Fuad Rahmany yang dikutip beberapa media dalam jumpa pers Sabtu
lalu. Jika menilik pernyataan Fuad Rahmany ini maka modus operasi penangkapan
pejabat pajak AS ini tidak berbeda dengan penangkapan TH -salah seorang pegawai
Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sidoarjo Selatan- bulan silam.
Beruntunnya kasus suap terkuak yang menimpa pegawai Direktorat Jenderal Pajak
kembali mendatangkan tudingan ke tubuh instansi ini. Dikatakan reformasi
birokrasi itu telah gagal. Benarkah? Sejak tahun 2002 Direktorat Jenderal Pajak
telah melaksanakan reformasi birokrasi. Untuk menuju good governance dilakukan
perbaikan secara mendasar terhadap sistem birokrasi. Memangkas jalur birokrasi
agar menjadi lebih sistematis dan efisien. Perbaikan struktur organisasi dan
administrasi tentu tak bisa berjalan tanpa sinergi dari SDM yang handal dan
berintegritas. Untuk pembenahan SDM ini, Direkrorat Jenderal Pajak tak
henti-hentinya mengeluarkan kebijakan yang mendukung. Dari pemberian reward dan
punishment yang seimbang, hingga pemberlakuan whistleblowing system yang
mulanya menuai pro kontra di kalangan internal pegawai sendiri. Polemik yang
terlontar kebijakan tersebut hanya akan menjaring pelanggar kelas “teri”.
Whistleblowing system mulai
diberlakukan tahun 2012 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor:
SE-11/PJ/2011. Sistem yang revolusioner ini dibuat untuk membangun budaya
korektif dan peduli pada masyarakat luar dan pegawai DJP, agar bersama-sama
mengawal proses reformasi birokrasi. Masyarakat diberi kesempatan untuk
melaporkan pelanggaran yang diketahuinya melalui saluran yang telah disediakan.
Bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan seluruh pegawai
DJP dapat mengadukan peyimpangan yang dilakukan atasannya, bawahannya, maupun
sesama koleganya. Untuk memudahkan pegawainya, pimpinan Direktorat Jenderal
Pajak telah menyediakan instrumen yang mendukung. Antara lain dengan adanya
aplikasi di intranet Kepegawaian yang memungkinkan setiap pegawai untuk
mengadukan peyimpangan yang dilakukan pegawai lainnya. Setiap pegawai dapat
melakukan login dengan jaminan identitasnya akan dirahasiakan. Pengaduan itu
kemudian akan ditindaklanjuti Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi
Sumber Daya Aparatur (Kitsda), sebuah Direktorat yang berfungsi semacam
provost. Kerjasama antara KPK dan Kitsda inilah yang akhirnya telah menangkap
basah AS dan TH. Informasi ini yang harus terus disebarluaskan ke masyarakat.
Bahwa tertangkapnya AS ini justeru karena pengawasan berjalan efektif di
internal Direktorat Jenderal Pajak. Jangan sampai tertangkapnya AS jadi
demotivasi bagi pegawai pajak lain, karena stigma yang keliru. Direktorat
Jenderal Pajak baru satu-satunya instansi pemerintahan yang berani mengeluarkan
kebijakan whistleblowing system ini dan menggandeng KPK dalam pelaksanaannya.
Mungkin bagi sebagian masyarakat kebijakan ini terdengar agak kejam, seperti
menggunting dalam lipatan. Karena setiap pegawai akan menjadi mata-mata bagi
pegawai lainnya. Tapi menurut penulis pengawasan melekat dari lingkungan
terdekat seperti ini cukup efesien. Karena mereka yang dalam kesehariannya
bersosialisasi dengan seorang pegawai biasanya akan lebih cepat mencium
ketidakberesan yang dilakukan pegawai tersebut. Masyakat harus lebih adil dan
fair dalam menilai kasus tertangkapnya AS ini. Semua ini bisa terjadi karena
efektifnya sistem pengawasan internal tadi. Jadi reformasi birokrasi belum
gagal, justeru akan terus berlanjut. Seharusnya apresiasi diberikan ke pimpinan
Direktorat Jenderal Pajak, karena kebijakan whistleblowing system ini tidak
hanya menjaring “Ikan Teri” tapi juga “Kakap”.
Sumber : http://www.pajak.go.id/content/article/tertangkapnya-bukti-efektifnya-whistle-blower-di-pajak
NAMA :
AVEGA SELVIYANA
NPM :
11210230
KELAS :
4EA18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar